.post-body { line-height:2.8em; letter-spacing:1px; }

Home

Tuesday, November 11, 2014

Tiga Presiden Indonesia Gagal Cairkan Harta Amanah Soekarno

May 15, 2014 
Sumber http://revolusinews.com/2014/05/15/tiga-presiden-indonesia-gagal-cairkan-harta-amanah-soekarno/
Tiga Presiden Indonesia Gagal Cairkan Harta Amanah Soekarno
Jakarta, Revolusinews.com – Perjanjian “The Green Hilton Memorial Agreement” di Geneva (Swiss) pada 14 November 1963 merupakan perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Karena perjanjian itu, menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963.
“Dengan adanya perjanjian tersebut Bung Karno dijatuhkan dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Sampai saat ini perjanjian tersebut tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia,“ujar Safari ANS saat launching dan bedah buku “Harta Amanah Soekarno” di Kebagusan, Jakarta pada Selasa lalu.
Menurut Safari, dari mulai Soerharto, Megawati sampai SBY mencoba untuk menyiasat agar bisa mengambil harta amanah itu. Pada waktu itu, Soeharto bersama tim rahasianya mencoba mencari keberadaan harta amanah dengan menyiksa Soebandrio agar membuka mulut.
Lain hal yang dilakukan oleh Megawati saat menjadi Presiden ke-5, dia menagih janji ke Swiss namun tetap tidak bisa. Meskipun Megawati telah menyampaikan jika selain sebagai Presiden RI ia juga sebagai putrid Bung Karno.
“Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi Presiden berikutnya ikut serta untuk melacak keberadaan harta ini dengan membentuk tim rahasia. Namun lagi – lagi tetap mandul, karena semua pihak dibuat repot oleh perjanjian ini,” ujar Safari yang merupakan seorang penulis sekaligus wartawan senior itu.
Untuk diketahui jika perjanjian tersebut diteken oleh tiga negara yakni Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I dan John F. Kennedy sebagai presiden A.S serta William Vouker mewakili Swiss. Perjanjian ini sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961.
Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai lebih dari 57 ribu ton emas murni yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS).
“Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapa pun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri,”ungkap Safari.
Meskipun sebagian orang menganggap tidak percaya dengan keberadaan ini, namun saya berpesan kepada Presiden R.I selanjutnya harus berani membuka misteri ini. “Presiden Indonesia harus mereaktualisasi, mereasetisasi, dan merekalkulasi, serta pejabat jangan pura-pura diam,” imbuh Safari.
Safari mengaku, sudah berkeliling ke sejumlah daerah untuk mencari dokumen otentik perjanjian tersebut.
“Dari arsip itu kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Arsip terkait dengan harta amanah jika dikaitkan dengan politik boleh-boleh saja,” katanya
Pada kesempatan yang sama pimpinan redaksi penerbit Phoenix, Mehdy Zidane menyebut penerbitan buku ini dilakukan sebagai komitmen penerbit Phoenix atas buku-buku yang mampu meningkatkan character building bangsa.
“Saya yakin Indonesia punya aset yang besar namun akhirnya kita jadi budak bangsa lain. Alhamdulillah di tahun 2010 kami juga sempat terbitkan pertama kali buku tentang Atlantis di Indonesia. Lalu juga buku “Garut kota Illuminati” dan kini buku “harta amanah Soekarno”, dengan harapan klaim-klaim bangsa asing terhadap Indonesia mulai terungkap. Memang belum final, tapi saya yakin akan ada lagi ilmuwan nanti yang bisa mengembangkan lagi penemuan ini,” tandasnya. (Hari.S)

No comments:

Post a Comment